Senin, 25 Agustus 2008
Dilema Sholat Jum'at di Milan



Para Muslim di Milan mengeluh, menemukan tempat untuk menyelenggarakan ibadah Sholat Jum'at bukanlah pekerjaan mudah.Muslim di Utara Italia itu hanya memiliki waktu satu bulan untuk menemukan tempat baru sebagai ganti Masjid Milan untuk Ibadah rutin hari Jum'at itu. Alasannya warga kota--setelah dipicu oleh salah satu partai sayap kanan, koalisi pemerintah, Lega Nord--protes karena saat ibadah, jama'ah meluber hingga ke trotoar dan jalan umum.

"Kita diijinkan untuk menggunakan stadion olahraga hingga akhir September, "ujar Ahmed, warga kota Milan dan aktivis Muslim seperti yang dilansir oleh IslamOnline.net. "Setelah itu, kita harus segera menemukan tempat lain," ungkapnya

Dilema tersebut sebenarnya telah muncul lebih dari sebulan lalu, ketika pemerintah kota menyuruh Pusat Kebudayaan Islam, dengan masjid (dulunya berupa garasi) yang biasa mengakomodasi 4.000 Muslim setiap Sholat Jum'at selama 20 tahun, untuk pindah ke luar kota. Keputusan tersebut muncul setelah warga Milan lain memprotes akibat jalan yang macet dan gangguan lalu lintas ketika jamaah menggunakan jalan umum.

Sejak saat itu, para Muslim diijinkan untuk menggunakan stadion olahraga di Milan. Namun seperti halnya penyewa stadion lain, untuk ibadah ini, mereka harus membayar sejumlah €5,000 perminggu, 4.000 euro ditanggung pemerintah kota dan sisanya oleh para Muslim. Pemerintah kota mengatakan jika stadion dapat dipakai hanya 4 kali seminggu dan setiap orang akan diminta bayaran setiap kali masuk. Kabar buruknya tempat tersebut pun hanya dapat digunakan hingga akhir September..
.
Kota Milan sepertinya telah terpengaruh oleh tekanan berlebihan dari golongan sayap kanan," ujar Ali Abu Shwaima, kepala Pusat Islam Milan.

Beberapa tekanan tersebut muncul seperti protes penduduk di kota Genoa pada akhir bulan lalu karena Muslim berencana mendirikan Masjid di kota. Menurut klaim para pemrotes, rencana itu bersifat ofensif karena letak masjid berdekatang dengan gereja. Sebagain besar warga di Kota Colle di Val d'Elsa, juga melihat rencana pendirian masjid sebagai simbol ''okupansi''

Lega Nord atau Liga utara, partai sayap kanan yang memiliki empat menteri dalam pemerintah Italia saat ini, termasuk Menteri Dalam Negeri, memang dikenal antipati dan anti-kompromi terhadap kaum Muslim. Mereka sendiri berencana untuk meluncurkan undang-undang baru yang membatasi bangunan masjid. Berada di bawah undang-undang tersebut, pendirian menara masjid bakal dilarang dan masjid boleh dibangun bila berjarak sedikitnya satu kilometer dari gereja terdekat.

Berdasar sensus tidak resmi, Italia saat ini memiliki populasi Muslim sekitar 1,2 juta, termasuk 200 ribu yang penduduk asli yang berpindah agama.Islam ialah agama terakhir dengan keyakinan monoteisme yang masuk di koridor kekuasaan Roma. Tidak seperti, Yahudi, Budha, dan beberapa aliran Kristen lain, Islam belum diakui secara resmi oleh negara./

gambar: Ibadah Sholat Jum'at di stadion Kota Milan (www.corbis.com)

sumber : republika.co.id
posted by Fadli @ 20.33   0 comments
Rabu, 20 Agustus 2008
Filsafat Binatang
Tiga jenis binatang kecil yang menjadi nama tiga surat dalam Alquran adalah semut 'Alnaml', laba-laba 'Alankabut', dan lebah 'Alnahl'. Ketiga binatang itu punya ciri yang khas dan unik. Semut menghimpun makanannya sedikit demi sedikit tanpa henti. Karena ketamakannya menghimpun makanan, binatang ini berusaha --dan sering berhasil-- memikul sesuatu yang lebih besar dari badannya.

Laba-laba adalah binatang dengan sarang paling rapuh (QS 29:41). Meski demikian, sarang ini bukanlah tempat yang aman. Binatang kecil apa pun yang tersangkut di sana akan terjebak, disergap pemilik sarang, lalu tewas.

Sementara lebah memiliki insting --yang dalam bahasa Allah disebut "atas perintah Tuhan, ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal" (QS 16:68). Lebah sangat disiplin dalam pembagian kerja. Segala hal yang tidak berguna disingkirkan dari sarang. Dia tidak akan menggangu kecuali ada yang menggangunya, bahkan sengatan lebah pun bisa dijadikan obat.

Di zaman ini jelas ada yang berbudaya seperti semut: menumpuk dan menghimpun ilmu (tanpa mengolahnya) dan materi (tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya). Budaya semut adalah "budaya mumpung". Ada juga yang "berbudaya seperti laba-laba", yang sifatnya boros. Budaya ini juga banyak terjadi di kalangan masyarakat modern. Mereka cenderung menyerap produk-produk baru yang belum tentu dibutuhkan.

Orang berbudaya seperti budaya laba-laba sangat merugikan orang lain dan tidak mensyukuri nikmat yang telah didapatkannya, ia tidak lagi berpikir tentang sekitarnya dan mereka tidak lagi membutuhkan berpikir apa, siapa, kapan, dan di mana. Apa yang ia pikirkan hanyalah untuk kepentingan dan kesenangan pribadi.

Budaya terakhir adalah "budaya lebah". Budaya ini harus jadi cermin bagi seorang Muslim karena budaya lebah tidak merusak dan tidak merugikan orang lain, bahkan sangat dibutuhkan. Budaya lebah diibaratkan Nabi saw sebagai "Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali bermanfaat dan berguna bagi orang lain, dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya."

Dari budaya ketiga binatang itu, mana yang paling sesuai buat Anda? Jangan malu untuk mengaku pada diri sendiri.(ah)

sumber:republika.co.id
posted by Fadli @ 00.14   0 comments
Selasa, 12 Agustus 2008
Teknologi Navigasi, Sumbangan Islam untuk Dunia Maritim

Peradaban Islam menyumbangkan sejumlah peta yang dijadikan panduan para navigator. Salah satu peta yang digunakan pelaut Spanyol, Christopher Columbus untuk mengarungi Samudera Atlantik adalah peta Al-Idrisi

Peradaban Islam di era kegemilangan selama beberapa abad tampil sebagai super power dunia. Pada era kekhalifahan, dunia Islam menguasai berbagai sektor seperti, ilmu pengetahuan, politik, militer, ekonomi, serta perdagangan. Tak heran jika dunia Islam mampu menguasai wilayah yang terbentang begitu luas, meliputi benua Asia, Afrika, dan Eropa.

Kekhalifahan Islam dipandang telah memberi kontribusi yang signifikan dalam terjadinya proses globalisasi di era itu. Dengan ilmu pengetahuan serta kekuatan ekonomi yang dikuasainya, dunia Islam mampu membebaskan begitu banyak wilayah dari keterisolasian. Para penjelajah, pelaut, sarjana, saudagar, serta pelancong Muslim telah berjasa menghubungkan dan membuka wilayah yang terisolasi itu dengan dunia Islam.

Para ahli sejarah menamakan periode ini sebagai Pax Islamica. Keberhasilan dunia Islam dalam membangun perekonomian global di zaman kekhalifahan tak lepas dari teknologi perkapalan dan navigasi yang dikuasai umat Islam. Dengan teknologi navigasi dan perkapalan yang canggih pada zamannya, kekhalifahan Khulafa Ar-Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan Usmani Turki mampu menjadi kekuatan ekonomi selama berabad-abad.

Berbekal teknologi perkapalan dan navigasi pula, para penjelajah Muslim dari Andalusia dan Afrika Utara sukses mengarungi Lautan Atlantik antara abad ke-9 M hingga 14 M. Mereka telah mencapai benua Amerika, sebelum Christopher Columbus menemukannya pada abad ke-15 M. Para sarjana Muslim mulai mengembangkan teknologi navigasi yang berguna untuk mengarungi lautan, mencapai tujuan serta melewati dan memahami rute yang dituju pada abad ke-8 M.

Secara bahasa, kata navigasi berasal dari bahasa Sansekerta 'Navghathi'. Navigasi didefinisikan sebagai penentuan posisi dan arah di atas permukaan bumi. Konon, peradaban India memulai sejarah maritimnya sejak 5.000 tahun lalu. Galangan kapal terapung pertama dibangun peradaban lembah Indus sekitar 2300 SM. Peradaban manusia lainnya, seperti Cina, Yunani, dan Persia Kuno juga telah mengembangkan navigasi dengan caranya masing-masing.

Teknologi navigasi berkembang pesat di era kekhalifahan Islam. Peradaban Islam lewat gerakan penerjemahan teks dari berbagai peradaban mulai memahami pentingnya menguasai teknologi navigasi. Berbekal pengetahuan itu, para geogarfer, dan para navigator Muslim mengembangkan sendiri teknologi navigasinya. Pengembangan navigasi dilakukan para penjelajah Muslim perintis. Merekalah yang berjasa meletakkan dasar penetapan lokasi sebuah tempat.

Salah satu teknik yang paling penting untuk menentukan sebuah lokasi adalah garis lintang dan garis bujur. Hal semacam ini sudah dikuasai para geogrefer dan penjelajah Muslim. Teknik navigasi lainnya yang lebih canggih yang dikuasai umat Islam di era kekhalifahan adalah dengan menggunakan posisi triangulasi berdasarkan pada matahari, bintang, dan horison.

Berbekal pemahaman dasar tentang navigasi itu, peradaban Islam mulai menemukan sederet teknologi navigasi modern. Salah satu teknologi navigasi yang paling penting yang dihasilkan peradaban Islam adalah kompas magnetik. Bapak Sejarah Sains Barat, George Sarton dalam Introduction to the History of Science mengungkapkan, adalah benar bahwa peradaban Cina telah lama mengenal potensi navigator jarum magnet.

Namun, papar Sarton, potensi itu tak pernah dimanfaatkan peradaban Cina untuk membuat sebuah kompas. Menurut dia, peradaban Islam-lah yang pertama kali menggunakan magnet sebagai alat penunjuk arah. Para sarjana Islam mengembangkan kompas dengan 32 titik. Sejarah mencatat, pada abad ke-11 M para pelaut Muslim menggunakan kompas Marinir untuk pertama kalinya atau mungkin jauh sebelum itu sudah memakainya.

Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve menyebutkan, penggunaan magnet sebagai penunjuk arah dalam risalah untuk pertama kalinya muncul dalam kumpulan anekdot Persia bertajuk Jawami Al-Hikayah wa Lawami ar-Riwayah ( Kumpulan Hikayat dalam Riwayat-riwayat Cemerlang). Kompilasi anekdot itu ditulis oleh Muhammad Al-Rawi pada tahun 1230 M.

Selain itu, teknologi navigasi lainnya yang dikembangkan peradaban Islam untuk mengarungi lautan dan menjelajahi dunia adalah Baculus. Kamus on-line Tiscali, mendefinisikan Baculus sebagai kemudi, tangkai, serta simbol kekuasaan. Dalam dunia navigasi, Baculus merupakan teknologi yang digunakan untuk astronomi nautica. Teknologi ini asli dikembangkan peradaban Spanyol Muslim yang berpusat di Cordoba.

Pada era selanjutnya, Baculus digunakan para navigator Portugis untuk melanglang dunia. Berbekal Baculus yang diciptakan peradaban Islam, bangsa Portugis menguasai sejumlah wilayah, salah satunya kawasan timur Nusantara sekitar abad ke-16 M. Teknologi navigasi lainnya yang ditemukan para navigator Muslim adalah Caravel. Pada abad ke-13 M, para penjelajah dari Spanyol Muslim telah menggunakan teknologi navigasi yang satu ini untuk mengarungi samudera.

Dua abad kemudian, teknologi Caravel digunakan oleh bangsa Spanyol dan Portugis untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia. Penemuan penting lainnya dalam bidang navigasi Muslim adalah Kamal. Teknologi ini digunakan navigasi angkasa serta untuk mengukur ketinggian dan garis lintang bintang.

Tekonologi navigasi lainnya yang dikembangkan para pelaut Muslim adalah Three-masted merchant vessel. Menurut Jhon Hobson, para pelaut Islam memperkenalkan teknologi itu di sekitar laut Mediterania. Selain itu, peradaban Islam juga menyumbangkan sejumlah peta yang dijadikan panduan para navigator. Salah satu peta yang digunakan pelaut Spanyol, Christopher Columbus untuk mengarungi Samudera Atlantik adalah peta Al-Idrisi.

Penjelajah Muslim lainnya seperti Ibnu Batutta dari Maroko serta Cheng Ho dari Cina juga telah menyumbangkan jalur perjalanan yang dijadikan pegangan para navigator dunia selama berabad-abad. Teknologi navigasi merupakan salah satu kunci keberhasilan peradaban Islam menggenggam dunia. Heri Ruslan,hri/yto


sumber republika.

Label:

posted by Fadli @ 21.26   0 comments
Kemilau Ilmu Pengobatan Mata Islam

Dalam 250 tahun, sarjana Muslim telah menghasilkan 18 kitab tentang opthalmologi. Sedangkan, ilmuwan Yunani dari zaman Hippo crates hingga Paulus selama 10 abad hanya menghasilkan lima buku opthalmologi.

Ilmu pengobatan mata alias opthalmologi berkembang begitu pesat di era modern. Kemajuan yang dicapai dunia opthalmologi saat ini tak akan mungkin terjadi tanpa peran para dokter spesialis mata Muslim di era keemasan. Para oculist (spesialis mata) Muslim di era kekhalifahan Abbasiyah telah meletakkan fondasi bagi perkembangan ilmu pengobatan mata.

‘’Saya mengundang Anda kembali ke massa 1.000 tahun silam untuk menyaksikan fakta sejarah pencapaian para dokter Muslim di bidang opthalmologi,’‘ papar Professor J Hirschberg, seorang ahli mata terkemuka berkebangsaan Jerman dalam tulisannya berjudul Arab Opthalmologist. Hirschberg begitu mengagumi pencapaian para dokter spesialis mata Muslim (kahhal) di era kekhalifahan.

Amat wajar bila Hirschberg kepincut dengan pencapaian dan prestasi para kahhal Muslim yang hidup 10 abad silam. Betapa tidak. Sederet istilah dalam ilmu pengobatan mata ternyata berasal dari dunia peradaban Islam. Tahukah Anda, istilah retina, katarak, glaukoma, pannus, serta operasi konjunktifa pertama kali digunakan para opthalmologist Muslim?

Tak cuma itu, para dokter spesialis mata Muslim pun telah berperan besar dalam menemukan beragam peralatan medis untuk mengobati penyakit mata. Selain mampu menemukan optik, dokter spesialis mata Muslim di era kejayaan juga sudah mampu menemukan peralatan medis yang digunakan untuk melakukan operasi mata. Sungguh pencapaian yang prestisius.

Di era kekhalifahan, profesi dokter spesialis memang sangat prestisius. Sama bergengsinya dengan pencapaian yang mereka sumbangkan bagi dunia kedokteran. Penguasa Dinasti Abbasiyah menempatkan para dokter spesialis mata dalam posisi terhormat. Para dokter mata itu ditempatkan di istana yang megah. Mereka pun digaji dengan bayaran yang amat besar.

Khalifah Harun Ar-Rasyid, misalnya, menggaji Bukhtishu Ibnu Jurjis sebesar 4 juta dirham per tahun. Gaji yang diterima para dokter spesialis mata di era kekhalifahan sebenarnya tergantung pada posisi sang dokter. Ketika masih praktik di pinggir jalan di kota Baghdad, upah yang diterima Ibnu Masawaih untuk mengobati pasiennya berupa roti, daging dan manisan.

Meski begitu, dia menjalankan tugasnya secara profesional. Upah yang diterima Ibnu Masawaih melonjak menjadi 600 dirham per bulan ketika merawat seorang pejabat kekhalifahan. Ketika Ibnu Masawaih telah menjadi dokter spesialis mata terkemuka di Baghdad, dia mendapat gaji tetap sebesar 2.000 dirham per bulan ditambah bonus sekitar 20 ribu dirham per tahun.

Selain itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid pun membantu para dokter spesialis mata itu dengan menyediakan beberapa pembantu. Sehingga, para dokter itu lebih ringan dalam menjalankan tugasnya.

Gaji besar yang diterima para dokter spesialis mata di era kekhalifahan itu tentunya sebanding dengan tanggung jawab dan profesionalisme yang mereka emban. Mereka harus bertanggung jawab bila ada kesalahan saat mengobati pasiennya.

Menjadi dokter spesialis mata pada era kekhalifahan tidaklah mudah. Sebelum berpraktik, para dokter itu harus me ngantongi surat izin dari otoritas resmi. Surat izin praktik dikeluarkan oleh dokter kepala kekhalifahan (hakim-bashi). Untuk memperoleh surat izin praktik, para dokter mata akan menjalani tes yang sangat ketat. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya malapraktik.

Aktivitas para dokter spesialis mata dalam menjalankan tugasnya juga mendapat pengawasan ketat dari istana kekhalifahan. Dokter kepala kekhalifahan memiliki muhtasib atau inspektur jenderal yang bertugas untuk memantau praktik kedokteran yang dijalankan semua dokter bersertifikat.

Sebelum tahun 931 M, belum banyak dokter spesialis mata yang mengantongi sertifikat profesi. Namun, ketika Khalifah Al-Muqtadir mendapat informasi ada kasus kematian akibat malapraktik, penguasa Dinasti Abbasiyah itu pun lalu memerintahkan Inspektur Jenderal, Ibrahim Muhammad ibnu Abi Batiha, untuk melakukan pemeriksaan terhadap dokter-dokter yang berpraktik.

Para dokter yang tak mengantongi izin atau sertifikat dari Sinan ibnu Thabit Qurra, yang berpraktik atas nama pribadi langsung dilarang. Sebagai dokter kepala istana kekhalifah an, Sinan bertugas untuk menyeleksi pemberian izin. Berdasarkan hasil tes serta pengkajian yang cermat, Sinan akan membuat rekomendasi cabang kedokteran atau spesialisasi yang boleh dijalankan seorang dokter.

Para ahli opthalmologi di era keemasan mampu melewati serangkaian tes yang sangat ketat. Dokter penguji pun mengaku sangat puas dengan keahlian yang dikuasai para dokter spesialis mata pada masa itu. Secara umum, para dokter mata telah menguasai dasardasar penyakit mata yang begitu rumit. Mereka juga sudah mulai menggunakan salep untuk mengobati sakit mata.

Selain itu, para dokter mata pun disumpah untuk tak sembarangan mengope rasi mata pasiennya. Beberapa metode operasi tak dizinkan dilakukan para dokter dalam menangani pasien penderita penyakit mata. Begitulah ilmu pengobatan mata berkembang di reka keemasan peradaban Islam. Dunia opthalmologi Barat pun banyak berguru dan belajar dari para dokter Muslim itu.

Professor J Hirschberg menyatakan, para ahli opthalmologi Muslim lebih produktif dibandingkan para dokter Yunani. ‘’Dalam 250 tahun, sarjana Muslim telah menghasilkan 18 kitab tentang opthalmologi. Sedangkan, ilmuwan Yunani dari zaman Hippocrates hingga Paulus selama 10 abad hanya menghasilkan lima buku opthalmologi,’‘ papar Hirschberg. Secara keseluruhan, para dokter Muslim telah menghasilkan 30 kitab tentang opthalmologi. Sayangnya, cuma tinggal 14 kitab saja yang masih tersisa.


Kontribusi Dokter Spesialis Mata Muslim


Ali Ibnu Isa
Dia adalah dokter spesialis mata yang paling terkenal di antara dokter mata Muslim di era keemasan. Ali Ibnu Isa yang terlahir di Baghdad berhasil menulis kitab tentang pengobatan mata yang amat terkenal berjudul Tazkiratul-Kahhaleen(Catatan Ahli Mata). Inilah buku terbaik dan paling lengkap pada abad ke-10 M yang mengupas beragam penyakit mata.

Saking pentingnya, kitab yang ditulisanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Hirschberg dan Lippert pada 1904. Selain itu, kitab fenomenal yang ditulisnya itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Casey Wood pada 1936. Kitab yang ditulis Isa menjadi buku teks rujukan bagi para opthalmologist lainnya selama berabad-abad.

Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, kitab yang ditulisnya itu pertama kali dialihbahasakan kedalam bahasa Persia. Setelah itu, baru pada tahun 1497 diterjemahkan ke bahasa Latin. Isa juga menulis kitab yang paling terkenal pada tahun 1000 M berjudul ‘Memorial of Ophthalmology.’



Ammar Ibnu Ali Al-Mosuli
Dia adalah dokter spesialis mata termasyhur di kota Mosul, Irak sekitar tahun 1010 M. Ammar telah memberi kontribusi yang berharga bagi pengembangan opthalmologi dengan menulis Kitab-ul Muntakhab fi Ilaj-ul `Ayn (Kitab Beragam Pilihan dalam Pengobatan Penyakit Mata). Kitab ini secara luas diterapkan para dokter spesialis mata di Mesir. Kitab yang fenomenal itu mengupas anatomi mata serta beragam penyakit mata. Dalam kitabnya itu, Ammar juga menjelaskan tentang enam kasus operasi katarak dan sebuah kasus radang urat syaraf optik. ‘’Dia adalah ahli bedah mata yang paling intar dalam seluruh sejarah medis Arab,’‘ papar Profesor Hirschberg. Ammar juga mengupas tentang 48 jenis penyakit mata. Buah pikirnya itu masih tersimpan di Perpustakaan Ascorial di Madrid, Spanyol. Kitab yang ditulisnya masih tetap digunakan hingga abad ke-20 M. Menurut Hirschberg, Ammar adalah penemu operasi katarak dengan penghisap. Metode operasi katarak dengan cara yang dilakukan Ammar pada abad ke-10 M, masih tetap diterapkan hingga sekarang.



Al-Jurjani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruh Muhammad Ibn Mansur Bin Abdullah. Dia adalah dokter bedah mata yang terkenal dari Persia. Pada tahun 1088 M, dia menulis kitab yang berjudul Nur-ul-‘Ayun(Cahaya Mata). Kitab yang ditulis pada era kekuasaan Sultan Malikshah itu terdiri dari 10 bab. Tujuh bab di antaranya membahas 30 jenis operasi mata, termasuk tiga operasi katarak. Satu bab lainnya secara khusus membahas katarak, trahum, penyakit kornea, serta masalah kelopak mata.



Al-Ghafiqi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Qassoum Ibnu Aslam Al-Ghafiqi. Dia biasa dipanggil Al-Ghafiqi (wafat 1165 M). Dokter mata dari Spanyol di abad ke-12 itu terkenal dengan buku yang ditulisnya bertajuk Al-Murshid fil Kuhl(Panduan Tepat dalam Opthalmologi). Kitab itu tak hanya mengupas tentang penyakit mata saja, namun juga menjelaskan secara detail tentang kepala dan penyakit otak.



Kalifah Ibnu Al-Mahasin
Dia adalah dokter spesialis mata yang sangat kondang dari Allepo, Suriah. Pada tahun 1260 M, dia menulis sebuah buku setebal 564 halaman yang mengupas dan memberi gambaran tentang beragam peralatan bedah, termasuk 36 peralatan bedah mata. Dia juga membahas tentang saluran kecil yang menghubungkan mata dengan otak. Kafilah juga menulis tentang 12 macam operasi katarak.



Salahudin
Nama lengkapnya adalah Salahuddin Ibnu Yusuf dari Hammah. Dokter spesialis mata asal Suriah itu pada tahun 1290 M menulis buku yang berjudul The Light of the Eyes. Kitab itu membahas tentang kerja baru teori penglihatan optik. Dia banyak terpengaruh oleh Ammar. Heri Ruslan/Yto/


sumber republika

Label:

posted by Fadli @ 20.57   0 comments
Sulaeman Al-Qanuni, Pemimpin Agung dari Abad XVI
Sejarah Islam mencatat kiprah dan pejuangannya dengan tinta emas sebagai penguasa Muslim tersukses. Di abad ke-16 M, penguasa Kekhalifahan Usmani Turki itu menjadi pemimpin yang sangat penting di dunia -- baik di dunia Islam maupun Eropa. Di era kepemimpinannya, Kerajaan Ottoman menjelma sebagai negara adikuasa yang disegani dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Pemimpin Muslim yang didapuk peradaban Barat dengan gelar 'Solomon the Magnificient' atau 'Solomon the Great' itu adalah Sultan Sulaeman I. Sulaeman pun tersohor sebagai negarawan Islam yang terulung di zamannya. Kharismanya yang begitu harum membuat Sulaeman dikagumi kawan dan lawan. Di masa kekuasaannya, Kekhalifahan Turki Utsmani memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh dan kuat.

Sultan Sulaiman pun begitu berjasa besar penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ketika berkuasa, Sulaiman Agung - begitu orang Barat menjulukinya - berhasil menyemaikan ajaran Islam hingga ke tanah Balkan di Benua Eropa meliputi Hongaria, Beograd, dan Austria. Tak cuma itu, dia pun sukses menyebarkan ajaran Islam di benua Afrika dan kawasan Teluk Persia.

Gelar Al-Qanuni yang melekat pada nama besarnya dianugerahkan atas jasanya dalam menyusun dan mengkaji sistem undang-undang Kesultanan Turki Usmani. Tak hanya menyusun, Sultan Sulaeman pun secara konsisten dan tegas menjalankan undang-undang itu. Sulaiman menerapkan syariah Islamiyah dalam memimpin rakyat yang tersebar di Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah.

Pantaslah bila Sulaeman dikagumi lawan dan kawan. Ia adalah seorang penguasa kuat yang merakyat. Baginya, setiap rakyat di Kesultanan Usmani memiliki hak yang sama. Tak ada pemberadaan pangkat dan derajat. Kebebasan dan toleransi menjalankan kehidupan beragama pun dijunjungnya. Tak heran, jika pada masa kekuasaannya umat Islam serta Yahudi dapat hidup dengan aman dan damai.

Salah satu upaya penting yang dilakukan Sulaeman agar pemerintahannya kuat dan dicintai rakyat adalah dengan mememilih gubernur yang benar-benar berkualitas. Ia memilih gubernur yang mewakilinya di setiap provinsi dengan selektif dan ketat. Popularitas dan status sosial tak menjadi syarat dalam mencari kandidat gubernur. Agar tak kecolongan, ia sendiri yang turun langsung menyelidiki jejak rekam serta kepribadian setiap calon gubernur.

Hasilnya sungguh memuaskan. Setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin yang besih dan benar-benar berkualitas. Itulah mengapa, wilayah kekuasaan Usmani Turki yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia. Syariat Islam pun bisa dijalankan dengan baik.

Sulaiman pun dikenal sebagai pemimpin yang turut memajukan kebudayaan. Ia mencinta seni dan kebudayaan. Selain menduduki tahta kesultanan, Sulaiman pun dikenal sebagai salah seorang penyair yang hebat dalam peradaban Islam. Pada era kekuasaannya, Istanbul - ibukota Usmani Turki menjelma menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta filasafat. Inilah periode yang paling kreatif dalam sejarah kesultanan Usmani.

Sulaiman merupakan putera Sultan Salim I. Dia terlahir pada 6 November 1494 M di Trabzon, kawasan pantai Laut Hitam. Sejak kecil, dia sudah didik sang ayah pelajaran dan ilmu seni berperang serta seni berdamai. Menginjak usia tujuh tahun, Sulaiman cilik dikirim ke sekolah Istana Topkapi di Istanbul.

Di sekolah itu, dia mempelajari beragam ilmu pengetahuan seperti, sejarah, sastra, teologi serta taktik militer. Meski berdarah ningrat dan putera mahkota sebuah kesultanan yang sangat besar, sejak muda Sulaiman sudah sangat merakyat. Sahabat dekatnya justru adalah seorang budak bernama, Ibrahim. Kelak, sahabatnya itu menjadi penasehat yang amat dipercayainya.

Sebelum menduduki tahta kesultanan Usmani, pada usia 17 tahun dia ditunjuk sang ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia). Lalu setelah itu, dia diuji dengan menduduki jabatan Gubernur Sarukhan (Manisa) dan kemudian memimpin masyarakat di Edirne (Adrianople). Delapan hari setelah sang ayah tutup usia, pada 30 September 1520 M, Sulaeman naik tahta menjadi sultan ke-10 Kesultanan Usmani.

Seorang utusan dari Venesia, Bartolomeo Contarini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul Turki menggambarkan sosok Sultan Sulaiman. Menurut Contarini, saat itu Sulaiman baru berusia 22 tahun. ''Postur tumbuhnya tinggi, tapi kurus dan kuat serta corak kulitnya lembut,'' tutur Contarini. Selain itu, sang sultan digambarkan memiliki leher yang sedikit lebih panjang dan wajahnya yang tipis serta hidungnya bengkok seperti paruh rajawali.

''Dia adalah pemimpin yang bijaksana, sangat cinta pada ilmu. Sehingga semua orang berharap banyak dari kepemimpinannya,'' imbuh Contarini memuji akhlak Sultan Sulaiman I. Sebagian sejarawan mengklaim pada masa remajanya mengagumi Aleksander Agung. Menurut sejarawan, Sulaiman sangat terpengaruh visi Aleksander dalam membangun sebuah kerajaan yang dapat berkuasa dari Timur hingga Barat.

Masa pemerintahannya terbilang sangat panjang, jika dibandingkan Sultan-Sultan Ottoman lainnya. Selama berkuasa selama 46 tahun, Sultan Sulaeman begitu banyak mencapai kemenangan dalam berbagai peperangan. Sehingga, wilayah kekuasaan Kesultanan Usmani terbentang dari Timur ke Barat.

Kecintaannya pada ilmu pengetahuan diwujudkannya dengan mendirikan Universitas As-Sulaimaniyah. Sama seperti halnya pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman pun sempat menulis salinan Alquran dengan tangannya sendiri. Kini, salinan Alquran itu masih tersimpan di Masjid Agung Sulaiman.

Sulaiman tutup usia pada usia 71 tahun saat berada di Szgetvar, Hongaria pada tanggal 5 Juni 1566 M. Jasadnya dimakamkan di Masjid Agung Sulaiman yang berada di kota Istanbul, Turki. Kehebatan dan kebaikannya selama memimpin kesultanan Usmani hingga kini tetap dikenang.Heri Ruslan/yto


sumber : republika.

Label:

posted by Fadli @ 20.16   0 comments

Pasang radiobox ini!

Keluarkan radiobox (pop up)

.....
Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam, kep.riau, Indonesia
Udah Lewat
Arsip
motto
bacalah...bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu...
Surat ALi Imran ayat 191
"mereka yang senantiasa mengingat Allah dalam waktu berdiri,waktu duduk dan waktu berbaring dan mereka senantiasa memikirkan tentang kejadian langit dan bumi, seraya mereka berkata :Wahai Tuhan kami,tidak engkau jadikan semua ini dengan sia-sia.Maha suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari azab api neraka"
dunia

ketika hari mulai gelap...kelamlah semua pandangan...sirna sudah rasa yang ada...tinggallah raga diam terpaku...menunggu waktu berlalu...kan kah ada asa tersisa...untuk esok hari...jika sang surya menghadirkan diri...

Links
Template by
Free Blogger Templates